Tradisi Pendhak Selapan Dina “Jumatan Kliwon”
Tradisi Jumatan Kliwon, dikenal oleh
masyarakat desa Langgeng, Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung sejak
lama. Yakni ditularkan secara turun temurun oleh nenek moyang selama
berabad-abad lamanya. Dan tradisi ini merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan.
Meliputi kebudayaan Nusantara itu sendiri yang percaya akan animisme dan
dinamisme, kepercayaan Hindu-Budda, serta Islam. Masyarakat desa Langgeng,
rata-rata memeluk agama Islam. Bahkan dapat dikatakan, bahwa tidak ada warga
masyarakat yang memeluk agama selain agama Islam.
Akan tetapi, Islam yang dimaksud
disini adalah, Islam Kejawen dengan golongan Islam abangan. Yaitu, Islam yang
tidak begitu menjalankan secara penuh tugas dan kewajibannya sebagai seorang
muslim. Jadi mereka hanya mengakui, bahwa diri mereka merupakan pengikut Islam
tanpa menjalankan tugas dan kewajibannya secara taat. Berbeda halnya dengan
Islam golongan santri, yang disamping mengakui bahwa mereka seorang muslim,
tetapi mereka juga secara taat melaksanakan segala tugas dan kewajibannya
sebagai seorang muslim.
Dalam masyarakat Jawa, juga memiliki
aliran kepercayaan, beberapa diantaranya adalah aboge (aliran rebo wage), asopon
(aliran selasa pon), daltugi (aliran
taun dal setu legi) dan masih banyak yang lainnya. Masyarakat desa Langgeng,
sebagai keturunan suku Jawa, memiliki aliran kepercayaan. Yakni aliran “Aboge”.
Yang dimaksud aboge, adalah aliran rebo wage. Diyakini, bahwa aliran
ini merupakan aliran tertinggi. Sehingga aliran ini pulalah, yang mempengaruhi
masyarakat desa dalam melaksanakan setiap kegiatan yang berhubungan dengan kepercayaan
mereka.
Semisal, untuk penentuan hari raya, mereka
masih menganut sistem kalender Jawa. Yang merupakan perpaduan antara kalender
Saka dan kalender Hijriyah. Kalender tersebut diperhitungkan menurut peredaran
bulan dan peredaran matahari (solar and
lunar system). Dan yang melakukan akulturasi sistem ini, adalah Raja
Mataram Islam, Sultan Agung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa upacara/tradisi
ini ada, karena merupakan hasil perpaduan atau akultursasi antar berbagai
kebudayaan. Karena kalender ini merupakan hasil perpaduan atau akulturasi, maka
untuk penentuan waktu, kalender agak terlambat dibandingkan kalender Masehi.
Contoh, hari raya Idul Fitri dalam kalender Masehi bertuliskan Kamis Pon, maka
dalam kalender Jawa akan bertuliskan Jumat Wage. Jadi, diantara keduanya
memiliki selisih waktu satu atau dua hari.
v Berikut
akan dijabarkan tahun, bulan, pasaran dan hari dalam kalender Jawa:
Hari Bulan
Ahad Sura Rejeb
Senen Sapar Ruwah
Selasa Rabingulawal Pasa
Rebo Rabingulakir Sawal
Kemis Jumadilawal Dulkangidah
Jemuah Jumadilakir Besar
Setu
Pasaran Tahun
Pon Alip Dal
Wage Ehe Be
Kliwon Jimawal Wawu
Legi Je Jimakir
Paing
Nama-nama
bulan dalam tahun Jawa sudah disesuaikan dengan nama-nama bulan dalam tahun
Hijriyah. Walaupun tidak semuanya, tetapi banyak nama dan bulan yang sama.
Misal bulan Syafar, Rajab, dan Zulkaidah. Dalam kalender Jawa, bulan-bulan
tersebut diucapkan Sapar, Rejeb, dan Dulkangidah. Namun, ada nama-nama bulan
yang berbeda sama sekali, misal Muharram berubah menjadi Sura, dan Ramadhan
berubah menjadi Pasa. Sedangkan kelengkapan kalender Jawa, seperti sistem
pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Legi, Paing) termasuk sistem Wuku dan Windu masih
tetap dipergunakan. Dan kelender Jawa ini masih dipergunakan hingga sampai saat
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar