Selasa, 14 Januari 2014

Tradisi Pendhak Selapan Dina “Jumatan Kliwon”


Tradisi Pendhak Selapan Dina “Jumatan Kliwon”
            Tradisi Jumatan Kliwon, dikenal oleh masyarakat desa Langgeng, Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung sejak lama. Yakni ditularkan secara turun temurun oleh nenek moyang selama berabad-abad lamanya. Dan tradisi ini merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan. Meliputi kebudayaan Nusantara itu sendiri yang percaya akan animisme dan dinamisme, kepercayaan Hindu-Budda, serta Islam. Masyarakat desa Langgeng, rata-rata memeluk agama Islam. Bahkan dapat dikatakan, bahwa tidak ada warga masyarakat yang memeluk agama selain agama Islam.
            Akan tetapi, Islam yang dimaksud disini adalah, Islam Kejawen dengan golongan Islam abangan. Yaitu, Islam yang tidak begitu menjalankan secara penuh tugas dan kewajibannya sebagai seorang muslim. Jadi mereka hanya mengakui, bahwa diri mereka merupakan pengikut Islam tanpa menjalankan tugas dan kewajibannya secara taat. Berbeda halnya dengan Islam golongan santri, yang disamping mengakui bahwa mereka seorang muslim, tetapi mereka juga secara taat melaksanakan segala tugas dan kewajibannya sebagai seorang muslim.
            Dalam masyarakat Jawa, juga memiliki aliran kepercayaan, beberapa diantaranya adalah aboge (aliran rebo wage), asopon (aliran selasa pon), daltugi (aliran taun dal setu legi) dan masih banyak yang lainnya. Masyarakat desa Langgeng, sebagai keturunan suku Jawa, memiliki aliran kepercayaan. Yakni aliran “Aboge”. Yang dimaksud aboge, adalah aliran rebo wage. Diyakini, bahwa aliran ini merupakan aliran tertinggi. Sehingga aliran ini pulalah, yang mempengaruhi masyarakat desa dalam melaksanakan setiap kegiatan yang berhubungan dengan kepercayaan mereka.
             Semisal, untuk penentuan hari raya, mereka masih menganut sistem kalender Jawa. Yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriyah. Kalender tersebut diperhitungkan menurut peredaran bulan dan peredaran matahari (solar and lunar system). Dan yang melakukan akulturasi sistem ini, adalah Raja Mataram Islam, Sultan Agung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa upacara/tradisi ini ada, karena merupakan hasil perpaduan atau akultursasi antar berbagai kebudayaan. Karena kalender ini merupakan hasil perpaduan atau akulturasi, maka untuk penentuan waktu, kalender agak terlambat dibandingkan kalender Masehi. Contoh, hari raya Idul Fitri dalam kalender Masehi bertuliskan Kamis Pon, maka dalam kalender Jawa akan bertuliskan Jumat Wage. Jadi, diantara keduanya memiliki selisih waktu satu atau dua hari.

v  Berikut akan dijabarkan tahun, bulan, pasaran dan hari dalam kalender Jawa:
Hari                                           Bulan
Ahad                                         Sura                                 Rejeb
Senen                                        Sapar                               Ruwah
Selasa                                        Rabingulawal                  Pasa
Rebo                                          Rabingulakir                    Sawal
Kemis                                        Jumadilawal                    Dulkangidah
Jemuah                                      Jumadilakir                      Besar
Setu          

Pasaran                                      Tahun                 
Pon                                            Alip                                 Dal
Wage                                         Ehe                                  Be
Kliwon                                      Jimawal                           Wawu
Legi                                           Je                                     Jimakir
Paing                                        

                        Nama-nama bulan dalam tahun Jawa sudah disesuaikan dengan nama-nama bulan dalam tahun Hijriyah. Walaupun tidak semuanya, tetapi banyak nama dan bulan yang sama. Misal bulan Syafar, Rajab, dan Zulkaidah. Dalam kalender Jawa, bulan-bulan tersebut diucapkan Sapar, Rejeb, dan Dulkangidah. Namun, ada nama-nama bulan yang berbeda sama sekali, misal Muharram berubah menjadi Sura, dan Ramadhan berubah menjadi Pasa. Sedangkan kelengkapan kalender Jawa, seperti sistem pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Legi, Paing) termasuk sistem Wuku dan Windu masih tetap dipergunakan. Dan kelender Jawa ini masih dipergunakan hingga sampai saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar